Cinta, Dimana Kamu??

                Aku kecurian, aku kecolongan, aku kehilangan. Cintaku hilang entah kemana. Aku mencari-cari  di setiap sudut kamarku. Di dalam laci, di bawah meja, di bawah tempat tidur, di dalam lemari. Cinta tidak ada dimanapun. Aku bingung, aku kalut. Kucoba mencarinya sekali lagi, hasilnya tetap sama.
                “Cinta….dimana kamu??” teriakku setelah lelah mencari.
                Hening, tidak ada jawaban. Kemana lagi aku harus mencarinya? Pikirku bingung. Mungkinkah dia keluar? Kubuka pintu beranda kamarku, yang kutemukan hanya kesunyian malam. Kutatap langit dan kulihat rembulan.
                “ Rembulan, apakah kau melihat cintaku?” tanyaku pada rembulan.
                “Tidak,” Katanya,lalu ia melanjutkan “kau tanyakan saja pada bintang.Mungkin dia tahu dimana cintamu berada.”
                Kupalingkan kepalaku, kulihat bintang tak jauh dari tempat rembulan berada.
                “Bintang, kau lihat cintaku?” ulangku.
                “Tidak, aku tidak melihatnya. Coba kautunggu mentari, mungkin cintamu pergi bersama mentari.” Jawab Bintang.
                “Tapi aku tidak bisa menunggu. Aku harus menemukan cintaku sekarang.” Sergahku.
                “Tunggulah, beberapa saat lagi juga mentari datang. Bukankah kau sudah diajarkan bersabar  untuk menunggu cinta?” Kata Bintang kepadaku.
                Aku menghela nafas kesal dan berkata pada bintang, “Tidak bisakah kalian pergi  sekarang, agar mentari segera datang? Aku perlu menanyakan cintaku padanya.”
                “Ini hukum alam.Kami tidak bisa pergi kalau belum waktunya. Kau tidak bisa melanggar hukum alam. Semuanya sudah ada yang mengatur.” Jawab Bintang dan Rembulan bersamaan.
                Mendengar jawaban mereka, aku pun duduk diam dan menunggu Mentari, Sementara Rembulan dan Bintang asyik mengobrol. Aku kesal terhadap diriku sendiri kenapa sampai bisa kehilangan cinta, hartaku yang paling berharga. Aku melamun, berharap menemukan cinta di dalam lamunanku. Ditengah lamunanku, Rembulan dan Bintang berpamitan. Sudah waktunya mereka pergi karena Mentari akan datang. Aku diam,tidak mempedulikan mereka. Aku lega akhirnya mereka pergi juga dan Mentari pun datang. Tanpa basa-basi aku pun bertanya kepada Mentari.
                “Mentari tidakkah cintaku pergi bersamamu?”
                “Tidak, aku tidak pergi membawa apapun. Mungkin cintamu terbang tertiup angin.” Jawab Mentari.
                Kalau begitu, untuk apa aku menunggu Mentari pikirku. Penantian yang sia-sia saja. Aku pun berlari mencari angin. Aku berlari tanpa henti,tanpa mengenal kata lelah. Akhirnya aku menemukan angin di sebuah taman.
                “Angin,kaukah yang meniup cintaku hingga lepas dariku?” Tanyaku pada angin.
                “Tidak,tidak  mungkin aku meniup cinta. Meski  aku mampu meniup berbagai benda, tapi aku tidak akan bisa meniup cinta.” Jawab angin.
                “Taukah kau dimana kira-kira cintaku sekarang berada?” Rasa lelah yang tadi tidak kurasakan, sekarang mulai datang.
                “Mungkin cintamu mengalir bersama air hujan.”
                “Dimanakah aku dapat menemukan air hujan?” tanyaku lagi.
                “Mana aku tahu. Kau tunggu sajalah disini. Dia selalu datang tanpa diduga.”
                Menunggu dan menunggu lagi. Tidak bisakah aku melakukan sesuatu untuk mendatangkan cinta padaku. Kenapa cinta harus pergi dariku. Aku disini duduk termenung, mengingat hari-hariku bersama cinta. Aku merindukan cinta. Rindu yang menyesakkan dada. Rindu yang tak berkesudahan. Mengapa masih saja sunyi yang hadir. Rinduku sudah meluap tak tertahankan. Cinta dimanakah kamu?
                Suara petir mengagetkanku. Tapi dengan segera aku langsung bersemangat. Suara petir menandakan hujan tak lama lagi akan datang. Kutunggu beberapa saat, dan hujanpun datang membasahi tubuhku.
                “Hujan, lihatkah kau dimana cintaku?”teriakku.
                “Tidak. Dimanakah kau meletakkanya?” kata hujan balas bertanya.
                “Kalau aku tahu aku tidak akan disini bersamamu dan bertanya padamu.” Balasku sengit.

*****
                Aku lelah dan kesal. Aku ingin tertidur lelap dan bermimpi tentang cinta. Dan begitu terjaga, aku ingin cinta ada disampingku. Kemana lagi aku harus mencari? Haruskah aku berlari hingga keujung dunia? Haruskah kuselami samudera luas, siapa tahu cintaku tenggelam di dasarnya? Aku sakaw pada cintaku.
                “Cinta….. dimana sih kamu?” teriakku pada klesunyian yang sejak tadi menemaniku.
                Kesunyianpun menjawab,”Tidakkah kau coba bertanya pada cermin, mungkin dia tahu dimana cintamu.”
                Mendengar itu, akupun pergi mencari cermin dan bertanya padanya, “Cermin, apakah kau melihat cintaku?”
                “Ya, aku melihatnya.”
                Kenapa sejak tadi tak terpikir olehku bertanya pada cermin yang selalu memandangku saat bersama cinta.
                “Dimana?” Tanyaku bersemangat.
                “Di dalam hatimu.” Jawab cermin.
                “Di dalam hatiku?”
                “Ya, masuklah kedalam hatimu dan kau akan menemukannya di sana.” Perintah cermin.
                Aku pun masuk kedalam hatiku. Kuaduk-aduk hatiku. Kuperiksa satu persatu dan akhirnya kutemukan cinta di bagian terdalam hatiku.
                “Cinta, kenapa kau bersembunyi di dalam hatiku?” Tanyaku tanpa basa-basi.
                “Aku tidak bersembunyi. Aku selalu beada di sini karena memang disinilah tempatku.” Jawab cinta.
                “Lalu, kenapa kau tidak menjawab ketikaku panggil?” tunutku.
                “Aku tidak bisa menjawab. Orang yang kau berikan cintalah yang harus menjawabmu.”
                Aku terdiam dan mengingat kembali kepada siapa aku memberikan cintaku. Lalu aku bertanya lagi kepada cinta, “Aku sudah memberikanmu kepada orang itu, tapi dia menolakmu kenapa?”
                “Jangan kau tanyakan padaku. Tanyakanlah padanya.”
                Aku semakin kesal mendengar jawabannya.
                “Aku tahu!!!” teriakku tiba-tiba. “Ini semua salahmu! Kau tidak cukup baik untuk dirinya. Kau tidak pantas baginya.”
                “Jangan kausalahkan aku! Tidak ada cinta yang tidak cukup baik. Cinta adalah bagian terbaik dari dirimu.”
                “Lalu siapa yang salah kalau bukan kamu?” tanyaku.
                “Salahkan saja  waktu yang mendatangkanku pada saat yang tak tepat.”
                Waktu yang sejak tadi hanya diam mendengarkan percakapanku dengan cinta merasa marah karena disalahkan.
                “Bukan aku yang bersalah.” Kata waktu membela dirinya.  “Salahkan saja dirimu karena mencintai orang yang salah.”
                “Bagaimana mungkin aku salah orang? Aku laki-laki dan dirinya wanita. Lagipula dia wanita yang sempurna.  Wajahnya cantik, hatinya seputih salju.  Apalagi yang salah pada dirinya ?” tanyaku.
                “Jangan bohongi dirimu sendiri.  Kamu juga pasti tahu apa yang salah pada dirinya, hanya saja kamu tidak mau mengakuinya. Yang salah adalah statusnya.” Jawab cinta.
                “Benar,” kali ini waktu tak ingin kalah. “Dia sudah menjadi milik orang lain. Istri baru ayahmu. Ibu tirimu.”
                Aku pun kembali terdiam. Aku kecewa pada diriku sendiri yang salah mencintai orang. Pada intinya kekecewaanku bersumber dari ketidakmampuanku,kegagalanku yang menyakitkan diriku.
                “Lalu aku harus bagaimana sekarang?” tanyaku lirih pada cinta.
                “Buanglah aku jauh-jauh. Hapuskan segala rasa cinta dihatimu pada orang itu.”
                “Dan, aku tidak akan memilikimu lagi? Bagaimana aku bisa hidup tanpa cinta? Bukankah banyak orang berkata bahwa cinta mampu mengalahkan segalanya dan menghapus kebencian? Haruskah aku sekarang hidup dalam kebencian?”
                “Tidak, kau tidak boleh hidup dalam kebencian. Tapi  tunggulah  cinta itu, cinta yang tulus dan murni yang terbalaskan. Akan tiba saatnya cinta itu memaanggil. Bersabarlah.”
                “Aku tidak bisa bersabar. Tidak bisakah cinta datang secepatnya, sesuai  keinginanku agar aku bisa melupakan cinta yang lalu.”
                “Cinta tidak dapat direkayasa. Dia akan mengalir dengan sendirinya ke dalam hati dan akan menemukan jalannya sendiri.”
                Aku mencoba memahami makna kata-kata itu. Mungkin benar juga pikirku. Mungkin lebih baik aku tidak memaksa bertemu cinta dulu. Kami memang memerlukan waktu sejenak untuk berpisah. Tidak ada salahnya aku memendam dahulu rasa rinduku. Membiarkan hatiku merintih dan meratap. Tapi sejenak saja. Dan suatu hari nanti aku akan berjumpa lagi dengan cinta itu. Menari bersamanya, tertawa bersamanya, tanpa batas, selamanya …..

Jakarta, 24 Agustus 2006
01:56

Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews

0 komentar:

Posting Komentar