Aku suka malam

Aku suka malam.
                Karena malam membawa kedamaian tersendiri bagiku. Semua amarahku, kesedihanku juga kekecewanku pada dunia hilang bersama gelapnya malam. Di malam hari aku dapat berpikir jernih. Aku hanya perlu duduk diam di dalam kegelapan malam dan kedamaian pun mendekapku, membuatku tenang dan tidak lagi memikirkan kesusahan hatiku.
                Aku suka malam.
                Karena malam berarti akhir dari hari yang membosankan. Di malam hari aku terlepas dari segala tuntutan. Berakhir semua kewajiban yang harus kulakukan. Aku dapat beristirahat, menghilangkan segala kepeningan di kepalaku. Aku tak lagi harus melakukan semua yang tidak ingin kulakukan. Gelapnya malam membawa pergi serta beban yang harus kujalani.
Aku suka malam.
                Karena malam melindungiku dari pandangan. Aku tak lagi harus berpura-pura menjadi seseorang yang diharapkan orang banyak. Aku kembali menjadi diriku sediri. Aku bebas melakukan apa yang kuinginkan tanpa perlu takut pandangan orang. Aku melakukan apa yang ingin kulakukan biarpun itu dianggap tabu oleh orang-orang. Malam melepaskan topengku di siang hari. Aku menjadi seseorang yang kuinginkan.
                Aku suka malam.
                Karena  berselimut dalam kegelapannya, aku tidak kelihatan. Bersembunyi dari orang-orang yang kubenci. Orang-orang yang mengharapkan kesempurnaan dariku. Mereka tidak akan menjangkauku di malam hari. Mereka tidak akan bisa menyuruhku melakukan semua keinginan mereka. Di sarangku di malam hari, aku tak lagi harus bertemu dengan mereka.
                Aku suka malam.
                Bagai seorang suci yang mencari kesunyian. Sendiri dalam gelapnya malam. Terhindar dari ramainya dunia. Di malam hari aku bisa duduk diam sendiri ditemani oleh gelapnya. sepi, Tapi aku suka itu. Karena aku tak lagi harus melihat segala hal  yang tak kusukai di siang hari. Di malam hari aku tak perlu melihat apa-apa lagi. Aku hanya perlu memejamkan mataku dan menikmati kesendirianku.
                Aku suka malam.
                Seperti seseorang mencari perlindungan. Begitu pula aku, mencari perlindungan pada gelapnya malam. Meskipun dingin menusuk kulitku, tapi gelapnya malam melindungiku dari terkaman binatang-binatang buas yang bernama manusia. Binatang-binatang yang siap menerkamku. Menjadikanku mangsa mereka dan siap menerkamku kapan saja mereka mau. Malam melindungiku, karena mereka tak bisa menjangkauku di malam hari. Karena mereka tak lagi bisa mendekati aku yang sedang bersembunyi di tengah gelapnya malam.
                Aku begitu menyukai malam.
                Hingga aku ingin malam berlangsung selamanya. Tak perlu lagi ada siang. Aku selalu memohon dan berdoa agar malamku terus berlanjut. Tapi Tuhan tidak mengijinkannya. Sudah hukum alam kataNya. Aku diam dan mencoba menerimanya. Setidaknya aku masih bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk merasakan indahnya malam.
*****
                Tapi kini semua sudah berubah. Keadaan sudah berbeda. Bagiku sekarang tak lagi sama. Aku kini tak lagi menyukai malam. Karena malam yang begitu kucintai telah menkhianatiku. Malam dengan kejamnya melukai hatiku. Menunjukkan sesuatu yang tak ingin kulihat. Memaksaku menerima keadaan. Malam memutuskan cintaku dengan kekasihku. Karena malam memperlihatkan padaku pengkhianatan kekasihku. Kenapa malam? Kenapa harus kau malam yang menunjukkan semua itu padaku? Malam hanya diam tak menjawab semua pertanyanku. Hanya kesunyian yang ada. Kesunyain yang kini tak lagi kusukai. Sekarang aku benci malam. Aku benci sendiri.

Jakarta, 30 Mei 2008
02:01

ISTRI YANGMENUNGGUSUAMINYA PULANG

                Seorang istri duduk diam sendiri di ruang tamu rumahnya. Matanya menerawang jauh. Tubuhnya berada di rumah, tapi pikirannya melayang-layang jauh entah kemana. Ia sedang menunggu suaminya pulang.
                Suami yang dahulu sangat dicintainya dengan segenap hati, jiwa dan raga, kini tak jua pulang kerumah yang telah mereka bina selama bertahun-tahun. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Bayang-bayang suaminya yang tengah bersama wanita lain terlintas dibenaknya. Sesaat raut wajahnya mengeras membayangkan hal itu.
******
                Pikirannya itu bukan hanya kecurigaan belaka. Semua fakta sudah mengarah kesitu. Hanya saja Ia belum mempunyai bukti jelas untuk membuat suaminya mengakui hal itu. Setiap kali Ia bertanya, suaminya selalu berdalih dan memutarbalikkan semua fakta. Wanita lainnya pun sang Istri mengetahuinya, bahkan Ia pernah berbicara dengan wanita tidak tahu malu itu.
                Wanita lain itu tahu, lelaki yang mereka bicarakan telah memiliki seorang istri dan anak.Tapi seakan tidak ada laki-laki lain di dunia ini, wanita itu tetap saja mau melanjutkan hubungan mereka. Walaupun saat ditanya Ia tidak mau mengakui hubungan mereka, Ia tidak mau mengakuinya. Ia berdalih mereka hanya sebatas teman biasa. Entah teman yang bagaimana yang saling memanggil dengan  sebutan “sayang”? Mungkinkah itu yang disebut dalam lagu sebagai ‘teman tapi mesra'?
                Jujur rasa sayang dan cinta istri itu telah lama pudar menyadari ketidaksetiaan suaminya. Ia hanya tidak rela melihat suaminya dan wanita lain bersenang-senang sedangkan Ia merana dalam kesendirian. Bingung, Istri itu memikirkan apa yang harus diperbuatnya. Ia terjebak dalam lingkaran setan bernama ketidaksetiaan. Ia sendiri selama ini tidak pernah berpikir untuk selingkuh. Walaupun suaminya terlalu banyak menyakitinya, tak pernah terbersit dalam dirinya untuk selingkuh.
                Ia sendiri memang dibesarkan dalam prinsip perkawinan hanya satu untuk selamanya. Ia selalu memegang teguh prinsip itu. Agamanya sendiri mengajarkan bahwa Kasih itu sabar. Tapi kini Ia bertanya sendiri dalam hati, harus sabar yang bagaimanakah dirinya? Ia hanya seorang manusia biasa yang memiliki batasan. Rasa sabar dalam dirinya ada batasnya. Ia tidak bisa hanya bersabar sendirian sedangkan suaminya tidak memiliki kesabaran untuk berubah.
                Selama ini Ia hanya bisa berdoa dan memohon pada Tuhan untuk menunjukkan jalan yang benar padanya. Tapi, apakah Tuhan mau mendengar doanya? Ia menyadari dirinya manusia yang banyak dosanya. Ia tidak seperti orang-orang lain yang taat pada ajaran-ajaran agama dan menjalankan perintah-perintah Tuhan. Kini, Ia harus mengadu kepada siapa lagi? Maukah Tuhan menjadi penolong orang berdosa ini?
                Saat Ini di tengah malam buta dalam sendirinya, Ia tetap menunggu suaminya untuk pulang dan kembali kepadanya. Setiap hari, setiap waktu Ia terus berharap suaminya pulang. Tapi, suaminya belum juga mau pulang. Suaminya tak menyadari ada seorang Istri yang setia menantinya di rumah. Walaupun begitu, Istri itu tetap mencoba untuk kembali bersabar menanti suaminya pulang. Ia ingin anak semata wayangnya tetap memiliki seorang Ayah.
*****
                Ia hanyut dalam sendirinya, tak menyadari pintu kamar tidurnya yang tadi tertutup rapat kini terbuka perlahan-lahan. Sesosok laki-laki keluar dari kamar itu dan mendekatinya . Tubuhnya tersentak ketika laki-laki itu menyentuh pundaknya perlahan.
                “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu belum juga tidur?” Tanya laki-laki itu.
                “Aku sedang menanti suamiku pulang.” Jawab istri itu perlahan.
                Laki-laki itu menatapnya bingung tidak mengerti. “Menanti suamimu pulang? Tapi aku kan sudah pulang sejak tadi.”
                “Ya, memang kamu sudah pulang sejak tadi. Tapi yang sekarang kutunggu adalah suamiku yang tak juga mau pulang kerumah.”
                “Suamimu? Tapi kan aku suamimu. Siapa lagi yang kau tunggu?” Tanya laki-laki itu semakin tak mengerti.
                “Tidak, kamu bukan suamiku. Kamu adalah seorang asing yang tiba-tiba masuk kedalam rumah ini dan mengaku sebagai suamiku.”
                Laki-laki itu menatap Istrinya dengan penuh tanda tanya. Apakah istrinya sudah mulai gila? Kemana semua kewarasannya? Kenapa Ia tiba-tiba tidak mau mengakui dirinya sebagai suami?  Suami yang mana lagikah yang dinantinya?
                “Aku semakin tidak mengerti.” Kata laki-laki itu akhirnya. “Sepanjang sepengetahuanku selama ini, kamu hanya memiliki satu suami yaitu diriku.”
                Mendengar perkataan itu, sang istri hanya menatapnya seraya tersenyum sedih. “Memang, tubuhnu adalah tubuh suamiku.Tapi hatimu bukan hatinya. Hati suamiku telah terbang jauh dan tidak mau lagi pulang kembali ke hatiku.”
                Kali ini suaminya tidak bisa berkata apa-apa mendengar ucapan istrinya. Ia tidak bisa menyalahkan Istrinya yang  berkata demikian. Memang benar kata-kata istrinya barusan. Hatinya memang telah hinggap ke tempat lain. Hanya saja Ia masih belum mau mengakuinya. Karena itu, tanpa sepatah katapun Ia kembali pergi tidur dan membiarkan istrinya menunggu suaminya pulang.

AKU SUKA MALAM

Aku suka malam.
Karena malam membawa kedamaian tersendiri bagiku. Semua amarahku, kesedihanku juga kekecewaanku pada dunia hilang bersama gelapnya malam. Di malam hari aku dapat berpikir jernih. Aku hanya perlu duduk diam di dalam kegelapan malam dan kedamaian pun medekapku, membuatku tenang dan tidak lagi memikirkan kesusahan hatiku.
           
Aku suka malam.
Karena malam berarti akhir dari hari yang membosankan. Di malam hari aku terlepas dari segala tuntutan. Berakhir semua kewajiban yang harus kulakukan. Aku dapat beristirahat, menghilangkan segala kepeningan di kepalaku. Aku tak lagi harus melakukan semua yang tidak harus kulakukan. Gelapnya malam membawa pergi serta beban yang harus kujalani.

Aku suka malam.
Karena malam melindungiku dari pandangan. Aku tak lagi harus berpura-pura menjadi seseorang yang diharapkan orang banyak. Aku kembali menjadi diriku sendiri. Aku bebas melakukan apa yang kuinginkan tanpa perlu takut pandangan orang. Aku melakukan apa yang ingin kulakukan biarpun itu dianggap tabu oleh orang-orang. Malam melepaskan topengku di siang hari. Aku menjadi seseorang yang kuinginkan.

Aku suka malam.
Karena berselimut dalam kegelapannya, aku tidak kelihatan. Bersembunyi dari orang-orang yang kubenci. Orang-orang yang mengharapkan kesempurnaan dariku. Mereka tidak akan menjangkauku di malam hari. Mereka tidak akan bisa menyuruhku melakukan semua keinginan mereka. Di sarangku di malam hari, aku tidak lagi harus bertemu dengan mereka.

Aku suka malam.
Bagai seorang suci yang mencari kesunyian. Sendiri dalam gelapnya malam. Terhindar dari ramainya dunia. Di malam hari aku bisa duduk diam sendiri ditemani oleh gelapnya sepi. Tapi aku suka itu, karena aku tak lagi harus melihat segala hal yang tak kusukai di siang hari. Di malam hari aku tak perlu melihat apa-apa lagi. Aku hanya perlu memejamkan mataku dan menikmati kesendirianku.
           
Aku suka malam.
Seperti seseorang mencari perlindungan. Begitu pula aku, mencari perlindungan pada gelapnya malam. Meskipun dingin menusuk kulitku, tapi gelapnya malam melindungiku dari terkaman binatang-binatang buas bernama manusia. Binatang-binatang yang siap menerkamku. Menjadikanku mangsa mereka dan siap menerkamku kapan saja mereka mau. Malam melindungiku, karena mereka tak bisa menjangkauku di malam hari. Karena mereka tak lagi bisa mendekati aku yang sedang bersembunyi di tengah gelapnya malam.
           
Aku begitu menyukai malam.
Hingga aku ingin malam berlangsung selamanya. Tak perlu lagi ada siang. Aku selalu memohon dan berdoa agar malamku terus berlanjut. Tapi Tuhan tidak mengizinkannya. Sudah hukum alam kata-Nya. Aku diam dan mencoba menerimanya. Setidaknya aku bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk merasakan indahnya malam.

*****

            Tapi kini semua sudah berubah, keadaan sudah berbeda. Bagiku sekarang tak ada yang sama lagi. Aku kini tak lagi menyukai malam. Karena malam yang begitu kucintai telah mengkhianatiku. Malam dengan kejamnya melukai hatiku, menunjukkan sesuatu yang tak ingin kulihat. Memaksaku menerima keadaan. Malam memutuskan cintaku. Karena malam memperlihatkan padaku perselingkuhan kekasihku. Kenapa malam? Kenapa harus kau malam yang menunjukkan semua itu padaku? Malam hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Kesunyian kini tak kusuai lagi. Sekarang aku benci malam. Aku benci sendiri.

BIDADARI MALAM

Bidadari malam. Begitulah aku memanggilnya. Aku menemukannya secara tak sengaja diantara sekumpulan teman-temannya.  Dia tampak begitu murni dan tak tersentuh. Aku terpesona menatapnya. Ia bak seorang bidadari yang turun dari khayangan.  Wajahnya cantik dan aura yang terpancar dari dirinya akan membuat pria manapun akan menatap dirinya lebih dari sekali. Segala sesuatu dari dirinya begitu sempurna. Ia benar-benar seorang bidadari. Hanya satu kekurangannya, matanya tampak begitu sendu. Tampak kesedihan didalamnya, ada luka yang tersisa. Mata yang telah melihat pahit manisnya dunia, yang takkan pernah dilupakannya. Semakin lama aku mengenalnya, aku semakin yakin bahwa ia memang bidadari.
*****
                “Aku yakin bahwa kamu adalah seorang bidadari yang diutus dari surga.” Kataku padanya suatu hari.
                Ia tersenyum simpul setengah tersipu. Tapi aku menangkap ada pendar di matanya. Cuma sejenak, tapi aku suka sekali!
                “Mungkin karena kamu melihatku memakai pakaian putih setiap hari.” Ia menjawab sekenanya.
                “Tidak. Bukan karena itu. Ada hal lain selain itu. Kalau pakaian putihmu itu sih sempat membuatku berpikir kalau kamu adalah hantu.”
                Ia tertawa renyah mendengar jawabanku. Hatiku terasa melambung melihat tawa yang begitu jarang diperlihatkannya.
                “Aku benar-benar yakin kalau kamu bidadari. Apalagi semakin lama aku mengenalmu.”
                "Mungkin saja benar katamu, aku seorang bidadari. Tapi aku bukan bidadari yang turun dari surga. Melainkan bidadari  yang ditendang dari indahnya surga karena melakukan kesalahan. Kemudian dihukum oleh Sang pemilik surga ke neraka bernama dunia.” Jawabnya getir.
                Aku memandangnya dengan sedih. Inginku mengusir lukanya. Menghapus sendu di matanya. Kutahan hasratku untuk memeluk tubuh mungilnya dan mencium bibir merahnya.  Ia begitu tak tersentuh bagiku. Begitu jauh untukku.
                “Sebenarnya apa yang paling kau inginkan di dunia ini?” Tanyaku kemudian.
                Sesaat Ia terdiam tampak sedang berpikir. Disandarkan punggungnya di kursi. Lalu menyilangkan kakinya. Tampak olehku betisnya mulus dan langsing. Rok mininya terangkat sedikit sehingga pahanya terlihat berkilau.
                “Mungkin aku menginginkan cinta sejati. Tapi tampaknya hal itu tidak mungkin bagiku.”  Ia menggumam hambar.
                “Kenapa tidak mungkin?” Tanyaku heran.
                “Tidakkah kamu tahu? Aku memang seorang bidadari seperti katamu, tapi aku adalah bidadari malam. Aku seorang pelacur, atau kalau ingin lebih halusnya seorang kupu-kupu malam. Tidak ada pria yang mendekatiku karena pribadiku. Mereka datang karena menginginkan tubuhku.”
                “Jadi, kamu putus asa?”
                “Tidak tahu. Aku Cuma memelihara asa walaupun sekecil ini.” Katanya seraya menunjukkan ruas salah satu jarinya.
                Kami berdua pun terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing. Kulihat ia tak seperti sedang duduk di  bar bersamaku. Ia pergi kedunianya sendiri, meninggalkan hingar bingar di sekelilingnya. Sakitkah yang ia rasakan? Kenapa rasa ngilu itu juga mendadak mendatangiku?
                Kutenggak segelas bir di hadapanku. Tanpa basa-basi kukatakan padanya bahwa ia tampak begitu menarik saat itu. Membuat laki-laki merasa ingin melindunginya, bersamanya, memeluknya, memilikinya, menemaninya…
                Ia hanya tersenyum sinis mendengarku.
                “Pernahkah kamu jatuh cinta?” Tanya ku lagi padanya.
                Ia tersentak mendengar pertanyaanku. Masih termangu di dalam matanya yang sepi, ia mengangguk tanpa semangat. 
                “Kamu sudah mengungkapkan perasaanmu padanya?”
                “Sudah. Kami berdua sama-sama saling jatuh cinta.”
                “Lalu kenapa kamu masih berada di sini? Masih duduk bersamaku? Tidakkah saat ini kamu menginginkan berada di sampingnya?”
                “Karena aku jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Mungkin saat ini ia sedang berada di tengah keluarganya. Aku rindu sekali keapadanya, aku cemburu sekali, aku kesepian menunggunya…. Dan rasa ini membuatku ingin mati saja.”
                Jawabannya membuatku terperanggah. Tanpa mampu kutahan, kurangkul bahunya. Ia hanya terdiam dalam sepinya. Direngguhnya segelas bir dihadapannya langsung sampai tandas.
                “Apakah kamu tidak ingin memilikinya? Memperebutkan cinta yang kalian miliki?” tanyaku.
                Ia menggeleng sedih tanpa berkata apa-apa.
                 “Kenapa?”
                Ia diam saja menatap tajam mataku. Kemudian ia berjalan meninggalkanku tanpa menoleh sedikitpun. Ah…. Kupikir sejak tadi aku hanya bisa melemparkan pertanyaan tolol, konyol dan penuh rasa ingin tahu. Tapi sungguh mati, aku tidak mempunyai kata-kata lain. Aku hanya ingin bertanya lebih jauh tentang dirinya. Ingin mengetahui sisi kehidupannya yang lain. Kehidupan yang selama ini tak pernah ia perlihatkan.
*****
                Sudah dua hari berlalu sejak kejadian malam itu. Dua hari pula aku tidak melihatnya. Kutanyakan keberadaannya pada teman-temnannya. Tapi tak seorang pun dari mereka mengetahuinya. Dua hari ini ia tak pernah datang, begitu kata mereka. Kurasakan kesepian menggerogotiku. Aku merasakan kehilangan akan dirinya. Tapi aku tak tahu dimana mencarinya, nama aslinya pun aku tidak pernah tahu karena tidak pernah menanyakannya.
                Seminggu pun berlalu, tak ada kabar sedikitpun tentang dirinya. Sampai suatu hari seorang temannya datang menghampiriku dan berkata bahwa bidadariku telah pergi. Terbang jauh dari kejamnya dunia ini. Ia bunuh diri karena laki-laki yang dicintainya itu tak bisa meninggalkan keluarganya.


Seorang Istri Yang Meminta Cerai

                “Sayang, aku minta cerai.”
                “Kenapa kamu tiba-tiba berkata demikian?”
                “Entahlah…”
                “Apakah ada laki-laki lain?”
                “Tidak…”
                “Ataukah kamu sudah tak mencintaiku lagi?”
                “Tidak. Aku masih sangat mencintaimu sama seperti saat kita bertemu dulu.”
                “Apakah aku kurang perhatian padamu?”
                “Tidak.perhatianmu begitu besar padaku melebihi perhatianku padamu.”
                “Atau karena penghasilanku kurang bagimu. Sehingga kamu jadi hidup susah?”
                “Tidak. Bukan karena itu. Bagaimana mungkin aku hidup susah? Semua yang aku inginkan selalu kamu berikan.”
                “Lalu, kenapa kamu ingin cerai?”
                “Entahlah, aku tidak tahu…”
                “Apa orang tuamu yang menyuruhmu? Sejak dulu kan mereka tidak menyetujui hubungan kita.”
                “Tidak sayang, Sudah lama mereka akhirnya menyetujui hubungan kita.”
                “Atau mungkin karena kita tidak bisa mempunyai anak?”
                “Tidak mungkin. Kamu kan tahu aku sudah tidak menyukai anak kecil.”
                “Jadi? Apa yang menyebabkanmu ingin bercerai?”
                “Entahlah…”
                “Kamu tidak bahagia?”
                “Hal yang paling membahagiakan dalam hidupku adalah menjadi istrimu.”
                “Apa kamu sudah mulai bosan dengan kehidupan pernikahan kita?”
                “Tidak, hari-hari kita begitu penuh warna,tak ada yang membosankan.”
                “Lalu apa yang kamu inginkan?”
                “Aku hanya ingin cerai.”
                “Tapi kenapa?”
                “Entah,aku tidak tahu.”
                “Kamu ingin bercerai tapi tidak tahu alasannya?”
                “Ya.”
                “Sekarang kamu masih tetap ingin cerai?”
                “Ya, tentu saja.”
                “Aku setuju menceraikanmu.”
                “Kamu setuju?”
                “Ya, tapi nanti setelah kamu tahu alasannya. Sekarang sudah malam,lebih baik kita tidur.”

26 juni 2008
03:48

Cinta, Dimana Kamu??

                Aku kecurian, aku kecolongan, aku kehilangan. Cintaku hilang entah kemana. Aku mencari-cari  di setiap sudut kamarku. Di dalam laci, di bawah meja, di bawah tempat tidur, di dalam lemari. Cinta tidak ada dimanapun. Aku bingung, aku kalut. Kucoba mencarinya sekali lagi, hasilnya tetap sama.
                “Cinta….dimana kamu??” teriakku setelah lelah mencari.
                Hening, tidak ada jawaban. Kemana lagi aku harus mencarinya? Pikirku bingung. Mungkinkah dia keluar? Kubuka pintu beranda kamarku, yang kutemukan hanya kesunyian malam. Kutatap langit dan kulihat rembulan.
                “ Rembulan, apakah kau melihat cintaku?” tanyaku pada rembulan.
                “Tidak,” Katanya,lalu ia melanjutkan “kau tanyakan saja pada bintang.Mungkin dia tahu dimana cintamu berada.”
                Kupalingkan kepalaku, kulihat bintang tak jauh dari tempat rembulan berada.
                “Bintang, kau lihat cintaku?” ulangku.
                “Tidak, aku tidak melihatnya. Coba kautunggu mentari, mungkin cintamu pergi bersama mentari.” Jawab Bintang.
                “Tapi aku tidak bisa menunggu. Aku harus menemukan cintaku sekarang.” Sergahku.
                “Tunggulah, beberapa saat lagi juga mentari datang. Bukankah kau sudah diajarkan bersabar  untuk menunggu cinta?” Kata Bintang kepadaku.
                Aku menghela nafas kesal dan berkata pada bintang, “Tidak bisakah kalian pergi  sekarang, agar mentari segera datang? Aku perlu menanyakan cintaku padanya.”
                “Ini hukum alam.Kami tidak bisa pergi kalau belum waktunya. Kau tidak bisa melanggar hukum alam. Semuanya sudah ada yang mengatur.” Jawab Bintang dan Rembulan bersamaan.
                Mendengar jawaban mereka, aku pun duduk diam dan menunggu Mentari, Sementara Rembulan dan Bintang asyik mengobrol. Aku kesal terhadap diriku sendiri kenapa sampai bisa kehilangan cinta, hartaku yang paling berharga. Aku melamun, berharap menemukan cinta di dalam lamunanku. Ditengah lamunanku, Rembulan dan Bintang berpamitan. Sudah waktunya mereka pergi karena Mentari akan datang. Aku diam,tidak mempedulikan mereka. Aku lega akhirnya mereka pergi juga dan Mentari pun datang. Tanpa basa-basi aku pun bertanya kepada Mentari.
                “Mentari tidakkah cintaku pergi bersamamu?”
                “Tidak, aku tidak pergi membawa apapun. Mungkin cintamu terbang tertiup angin.” Jawab Mentari.
                Kalau begitu, untuk apa aku menunggu Mentari pikirku. Penantian yang sia-sia saja. Aku pun berlari mencari angin. Aku berlari tanpa henti,tanpa mengenal kata lelah. Akhirnya aku menemukan angin di sebuah taman.
                “Angin,kaukah yang meniup cintaku hingga lepas dariku?” Tanyaku pada angin.
                “Tidak,tidak  mungkin aku meniup cinta. Meski  aku mampu meniup berbagai benda, tapi aku tidak akan bisa meniup cinta.” Jawab angin.
                “Taukah kau dimana kira-kira cintaku sekarang berada?” Rasa lelah yang tadi tidak kurasakan, sekarang mulai datang.
                “Mungkin cintamu mengalir bersama air hujan.”
                “Dimanakah aku dapat menemukan air hujan?” tanyaku lagi.
                “Mana aku tahu. Kau tunggu sajalah disini. Dia selalu datang tanpa diduga.”
                Menunggu dan menunggu lagi. Tidak bisakah aku melakukan sesuatu untuk mendatangkan cinta padaku. Kenapa cinta harus pergi dariku. Aku disini duduk termenung, mengingat hari-hariku bersama cinta. Aku merindukan cinta. Rindu yang menyesakkan dada. Rindu yang tak berkesudahan. Mengapa masih saja sunyi yang hadir. Rinduku sudah meluap tak tertahankan. Cinta dimanakah kamu?
                Suara petir mengagetkanku. Tapi dengan segera aku langsung bersemangat. Suara petir menandakan hujan tak lama lagi akan datang. Kutunggu beberapa saat, dan hujanpun datang membasahi tubuhku.
                “Hujan, lihatkah kau dimana cintaku?”teriakku.
                “Tidak. Dimanakah kau meletakkanya?” kata hujan balas bertanya.
                “Kalau aku tahu aku tidak akan disini bersamamu dan bertanya padamu.” Balasku sengit.

*****
                Aku lelah dan kesal. Aku ingin tertidur lelap dan bermimpi tentang cinta. Dan begitu terjaga, aku ingin cinta ada disampingku. Kemana lagi aku harus mencari? Haruskah aku berlari hingga keujung dunia? Haruskah kuselami samudera luas, siapa tahu cintaku tenggelam di dasarnya? Aku sakaw pada cintaku.
                “Cinta….. dimana sih kamu?” teriakku pada klesunyian yang sejak tadi menemaniku.
                Kesunyianpun menjawab,”Tidakkah kau coba bertanya pada cermin, mungkin dia tahu dimana cintamu.”
                Mendengar itu, akupun pergi mencari cermin dan bertanya padanya, “Cermin, apakah kau melihat cintaku?”
                “Ya, aku melihatnya.”
                Kenapa sejak tadi tak terpikir olehku bertanya pada cermin yang selalu memandangku saat bersama cinta.
                “Dimana?” Tanyaku bersemangat.
                “Di dalam hatimu.” Jawab cermin.
                “Di dalam hatiku?”
                “Ya, masuklah kedalam hatimu dan kau akan menemukannya di sana.” Perintah cermin.
                Aku pun masuk kedalam hatiku. Kuaduk-aduk hatiku. Kuperiksa satu persatu dan akhirnya kutemukan cinta di bagian terdalam hatiku.
                “Cinta, kenapa kau bersembunyi di dalam hatiku?” Tanyaku tanpa basa-basi.
                “Aku tidak bersembunyi. Aku selalu beada di sini karena memang disinilah tempatku.” Jawab cinta.
                “Lalu, kenapa kau tidak menjawab ketikaku panggil?” tunutku.
                “Aku tidak bisa menjawab. Orang yang kau berikan cintalah yang harus menjawabmu.”
                Aku terdiam dan mengingat kembali kepada siapa aku memberikan cintaku. Lalu aku bertanya lagi kepada cinta, “Aku sudah memberikanmu kepada orang itu, tapi dia menolakmu kenapa?”
                “Jangan kau tanyakan padaku. Tanyakanlah padanya.”
                Aku semakin kesal mendengar jawabannya.
                “Aku tahu!!!” teriakku tiba-tiba. “Ini semua salahmu! Kau tidak cukup baik untuk dirinya. Kau tidak pantas baginya.”
                “Jangan kausalahkan aku! Tidak ada cinta yang tidak cukup baik. Cinta adalah bagian terbaik dari dirimu.”
                “Lalu siapa yang salah kalau bukan kamu?” tanyaku.
                “Salahkan saja  waktu yang mendatangkanku pada saat yang tak tepat.”
                Waktu yang sejak tadi hanya diam mendengarkan percakapanku dengan cinta merasa marah karena disalahkan.
                “Bukan aku yang bersalah.” Kata waktu membela dirinya.  “Salahkan saja dirimu karena mencintai orang yang salah.”
                “Bagaimana mungkin aku salah orang? Aku laki-laki dan dirinya wanita. Lagipula dia wanita yang sempurna.  Wajahnya cantik, hatinya seputih salju.  Apalagi yang salah pada dirinya ?” tanyaku.
                “Jangan bohongi dirimu sendiri.  Kamu juga pasti tahu apa yang salah pada dirinya, hanya saja kamu tidak mau mengakuinya. Yang salah adalah statusnya.” Jawab cinta.
                “Benar,” kali ini waktu tak ingin kalah. “Dia sudah menjadi milik orang lain. Istri baru ayahmu. Ibu tirimu.”
                Aku pun kembali terdiam. Aku kecewa pada diriku sendiri yang salah mencintai orang. Pada intinya kekecewaanku bersumber dari ketidakmampuanku,kegagalanku yang menyakitkan diriku.
                “Lalu aku harus bagaimana sekarang?” tanyaku lirih pada cinta.
                “Buanglah aku jauh-jauh. Hapuskan segala rasa cinta dihatimu pada orang itu.”
                “Dan, aku tidak akan memilikimu lagi? Bagaimana aku bisa hidup tanpa cinta? Bukankah banyak orang berkata bahwa cinta mampu mengalahkan segalanya dan menghapus kebencian? Haruskah aku sekarang hidup dalam kebencian?”
                “Tidak, kau tidak boleh hidup dalam kebencian. Tapi  tunggulah  cinta itu, cinta yang tulus dan murni yang terbalaskan. Akan tiba saatnya cinta itu memaanggil. Bersabarlah.”
                “Aku tidak bisa bersabar. Tidak bisakah cinta datang secepatnya, sesuai  keinginanku agar aku bisa melupakan cinta yang lalu.”
                “Cinta tidak dapat direkayasa. Dia akan mengalir dengan sendirinya ke dalam hati dan akan menemukan jalannya sendiri.”
                Aku mencoba memahami makna kata-kata itu. Mungkin benar juga pikirku. Mungkin lebih baik aku tidak memaksa bertemu cinta dulu. Kami memang memerlukan waktu sejenak untuk berpisah. Tidak ada salahnya aku memendam dahulu rasa rinduku. Membiarkan hatiku merintih dan meratap. Tapi sejenak saja. Dan suatu hari nanti aku akan berjumpa lagi dengan cinta itu. Menari bersamanya, tertawa bersamanya, tanpa batas, selamanya …..

Jakarta, 24 Agustus 2006
01:56