BIDADARI MALAM

Bidadari malam. Begitulah aku memanggilnya. Aku menemukannya secara tak sengaja diantara sekumpulan teman-temannya.  Dia tampak begitu murni dan tak tersentuh. Aku terpesona menatapnya. Ia bak seorang bidadari yang turun dari khayangan.  Wajahnya cantik dan aura yang terpancar dari dirinya akan membuat pria manapun akan menatap dirinya lebih dari sekali. Segala sesuatu dari dirinya begitu sempurna. Ia benar-benar seorang bidadari. Hanya satu kekurangannya, matanya tampak begitu sendu. Tampak kesedihan didalamnya, ada luka yang tersisa. Mata yang telah melihat pahit manisnya dunia, yang takkan pernah dilupakannya. Semakin lama aku mengenalnya, aku semakin yakin bahwa ia memang bidadari.
*****
                “Aku yakin bahwa kamu adalah seorang bidadari yang diutus dari surga.” Kataku padanya suatu hari.
                Ia tersenyum simpul setengah tersipu. Tapi aku menangkap ada pendar di matanya. Cuma sejenak, tapi aku suka sekali!
                “Mungkin karena kamu melihatku memakai pakaian putih setiap hari.” Ia menjawab sekenanya.
                “Tidak. Bukan karena itu. Ada hal lain selain itu. Kalau pakaian putihmu itu sih sempat membuatku berpikir kalau kamu adalah hantu.”
                Ia tertawa renyah mendengar jawabanku. Hatiku terasa melambung melihat tawa yang begitu jarang diperlihatkannya.
                “Aku benar-benar yakin kalau kamu bidadari. Apalagi semakin lama aku mengenalmu.”
                "Mungkin saja benar katamu, aku seorang bidadari. Tapi aku bukan bidadari yang turun dari surga. Melainkan bidadari  yang ditendang dari indahnya surga karena melakukan kesalahan. Kemudian dihukum oleh Sang pemilik surga ke neraka bernama dunia.” Jawabnya getir.
                Aku memandangnya dengan sedih. Inginku mengusir lukanya. Menghapus sendu di matanya. Kutahan hasratku untuk memeluk tubuh mungilnya dan mencium bibir merahnya.  Ia begitu tak tersentuh bagiku. Begitu jauh untukku.
                “Sebenarnya apa yang paling kau inginkan di dunia ini?” Tanyaku kemudian.
                Sesaat Ia terdiam tampak sedang berpikir. Disandarkan punggungnya di kursi. Lalu menyilangkan kakinya. Tampak olehku betisnya mulus dan langsing. Rok mininya terangkat sedikit sehingga pahanya terlihat berkilau.
                “Mungkin aku menginginkan cinta sejati. Tapi tampaknya hal itu tidak mungkin bagiku.”  Ia menggumam hambar.
                “Kenapa tidak mungkin?” Tanyaku heran.
                “Tidakkah kamu tahu? Aku memang seorang bidadari seperti katamu, tapi aku adalah bidadari malam. Aku seorang pelacur, atau kalau ingin lebih halusnya seorang kupu-kupu malam. Tidak ada pria yang mendekatiku karena pribadiku. Mereka datang karena menginginkan tubuhku.”
                “Jadi, kamu putus asa?”
                “Tidak tahu. Aku Cuma memelihara asa walaupun sekecil ini.” Katanya seraya menunjukkan ruas salah satu jarinya.
                Kami berdua pun terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing. Kulihat ia tak seperti sedang duduk di  bar bersamaku. Ia pergi kedunianya sendiri, meninggalkan hingar bingar di sekelilingnya. Sakitkah yang ia rasakan? Kenapa rasa ngilu itu juga mendadak mendatangiku?
                Kutenggak segelas bir di hadapanku. Tanpa basa-basi kukatakan padanya bahwa ia tampak begitu menarik saat itu. Membuat laki-laki merasa ingin melindunginya, bersamanya, memeluknya, memilikinya, menemaninya…
                Ia hanya tersenyum sinis mendengarku.
                “Pernahkah kamu jatuh cinta?” Tanya ku lagi padanya.
                Ia tersentak mendengar pertanyaanku. Masih termangu di dalam matanya yang sepi, ia mengangguk tanpa semangat. 
                “Kamu sudah mengungkapkan perasaanmu padanya?”
                “Sudah. Kami berdua sama-sama saling jatuh cinta.”
                “Lalu kenapa kamu masih berada di sini? Masih duduk bersamaku? Tidakkah saat ini kamu menginginkan berada di sampingnya?”
                “Karena aku jatuh cinta pada laki-laki yang salah. Mungkin saat ini ia sedang berada di tengah keluarganya. Aku rindu sekali keapadanya, aku cemburu sekali, aku kesepian menunggunya…. Dan rasa ini membuatku ingin mati saja.”
                Jawabannya membuatku terperanggah. Tanpa mampu kutahan, kurangkul bahunya. Ia hanya terdiam dalam sepinya. Direngguhnya segelas bir dihadapannya langsung sampai tandas.
                “Apakah kamu tidak ingin memilikinya? Memperebutkan cinta yang kalian miliki?” tanyaku.
                Ia menggeleng sedih tanpa berkata apa-apa.
                 “Kenapa?”
                Ia diam saja menatap tajam mataku. Kemudian ia berjalan meninggalkanku tanpa menoleh sedikitpun. Ah…. Kupikir sejak tadi aku hanya bisa melemparkan pertanyaan tolol, konyol dan penuh rasa ingin tahu. Tapi sungguh mati, aku tidak mempunyai kata-kata lain. Aku hanya ingin bertanya lebih jauh tentang dirinya. Ingin mengetahui sisi kehidupannya yang lain. Kehidupan yang selama ini tak pernah ia perlihatkan.
*****
                Sudah dua hari berlalu sejak kejadian malam itu. Dua hari pula aku tidak melihatnya. Kutanyakan keberadaannya pada teman-temnannya. Tapi tak seorang pun dari mereka mengetahuinya. Dua hari ini ia tak pernah datang, begitu kata mereka. Kurasakan kesepian menggerogotiku. Aku merasakan kehilangan akan dirinya. Tapi aku tak tahu dimana mencarinya, nama aslinya pun aku tidak pernah tahu karena tidak pernah menanyakannya.
                Seminggu pun berlalu, tak ada kabar sedikitpun tentang dirinya. Sampai suatu hari seorang temannya datang menghampiriku dan berkata bahwa bidadariku telah pergi. Terbang jauh dari kejamnya dunia ini. Ia bunuh diri karena laki-laki yang dicintainya itu tak bisa meninggalkan keluarganya.


Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews

0 komentar:

Posting Komentar